KERAPUHAN DIBALIK KEANGKUHAN


Secara tidak sadar seorang anak manusia membangun sebuah tembok atau benteng  untuk melindungi dirinya sendiri, entah sudah berapa tinggi yang ia bangun, dan entah sudah sekokoh apa. Ia mulai membangun tembok itu ketika mulai mengenal dunia yang tak disengaja, ketika pikiranya mulai terbuka, ia melihat dan mendengarkan semua kisah dari berbagai orang, dari berbagai mulut dengan berbagai versi. Sungguh mungkin hal yang tidak lazim bagi anak seusianya dalam ruang lingkup keseharianya. Hingga ia pun mulai terbawa, terhanyut dengan pola pikir yang ia dapatkan di dunia barunya. Pola pikir yang sempat membuatnya dimusuhi atau dijauhi. Tapi sayang ia tidak terlalu tangguh untuk mempertahankan karakter yang baru ia dapat, dan ia pun menjadi lemah.

Tapi seketika setelah dua tahun kemudian ia mulai merasakan kembali tembok yang telah layu, denganya ia mampu berdiri kokoh menantang semua angin, rintangan untuk ia mentahkan. Bahkan kini tembok itu bukan lagi menjadi benteng pelindungnya tapi benteng penghalangnya dari dunia luar, bukan karena ia tidak tahu tapi karena ia tidak mau. Tembok itu telah menyatu dengan dirinya yang tergambar dalam sebuah sikap yang sangat tidak baik, ANGKUH…

Dalam ke angkuhanyatembok itu menjadi teman, sesungguhnya tembok yang ia bangun yang pada akhirnya membawa pada suatu sikap angkuh bukan tanpa sebab, tapi semua itu ia lakukan untuk melindungi dirinya. Saat semua orang menceritakan kisah yang sama namun berbeda versi, ia gunakan tembok itu. Karena pada akhirnya kisah yang satu membunuh kisah yang lain dan dia tidak suka. Sehingga dengan bantuan tembok itu ia bisa menyamar menjadi “orang lain” untuk membunuh semua kisah yang ia dengar dari manusia – manusia langit, baik dari langit pertama hingga ke tujuh.

Namun dibalik semua itu ia merasa bagaikan tong kosong, karena memang sesungguhnya tembok itu kosong, kosong karena ia tak mengizinkan apapun masuk melewatinya. Hingga suatu hari teman – temanya membujuk untuk menghancurkan benteng itu, jika ada yang hendak menyerang biarlah mereka lawan bersama. Karena kerinduanya akan hangatnya dunia luar, ia pun menghancurkan tembok itu, walau tidak seluruhnya. Ia terlalu pengecut untuk menghancurkan semuanya.

Dan kini setelah tembok itu hancur setengahnya dengan keadaan yang cukup jauh dari apa yang dibayangkanya ia merasa sedikit menyesal karena telah menghancurkan tembok itu. Ia menyesal karena dengan sukarela menyerahkan pikiranya sendiri untuk dibunuh secara perlahan, atau mungkin dalam bahasa mereka diluruskan secara perlahan. Tapi sungguh ia terkadang merindukan dirinya yang dulu, dirinya yang selalu berpikir dan berdiskusi tentang syariat, hakikat walaupun belum sampai pada tarikat dan makrifat. Tapi kini yang ia dapat adalah cerita – cerita atau kisah – kisah syariat saja.

Ataukah ia harus menghancurkan keseluruhan temboknya?agar semua kisah dapat ia dengar, kisah yang menyayat maupun yang membuat hati tergerak. Tapi satu hal yang pasti di balik kokohnya sebuah tembok keangkuhan seseorang disana pasti terdapat jiwa yang rapuh yang enggan untuk diketahui oleh dunia sehingga ia harus membangun benteng untuk mencegah dunia agar tidak mengetauinya, Sama halnya seperti kura – kura. Ia mempunyai cangkang yang kuat yang denganya ia bisa bertahan hidup selama ratusan tahun, tapi lihatlah tubuhnya yang begitu lunak. Seperti itulah kerapuhan dibalik keangkuhan manusia dan hanya sedikit saja yang mengerti.

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar